Selasa, 19 Oktober 2021

DIORAMA 33

BALI DALAM MENGISI KEMERDEKAAN


Lokasi:

Beberapa hasil pembangunan di Bali

Kronologi:  

Tahun 1950-1975'
(video diorama 33)


Deskripsi Diorama:

Pembangunan daerah Bali berlandaskan kebudayaan yang dijiwai oleh Agama Hindu, tampak salah satu bangunan Taman Budaya Bali (Gedung Ksirarnawa) dengan latar belakang gunung Agung yang menjulang tinggi serta aktivitas rakyat dalam berproduksi dan berkesenian yang menjadi pokok kehidupan rakyat Bali. Tampak pula bangunan Gedung DPRD Bali, Kampus Universitas Udayana (pendidikan) dan aktivitas rakyat dalam bidang pertanian/peternakan.


Pada masa agresi militer Belanda kedua di Bali diusahakan berdirinya badan-badan perjuangan yang bersifat gerilya yang lebih efektif, maka pada bulan Juli 1948 dibentuk organisasi perjuangan dengan nama Gerakan Rakyat Indonesia Merdeka (GRIM) dan tanggal 27 November 1948 dia bergabung dengan organisasi perjuangan lainnya dengan mengubah nama Pemerintah Darurat Republik Sunda Kecil.

Pada zaman Republik Indonesia Serikat (RIS) Komisi Militer Indonesia Timur menyerukan kepada para anggota PDRI yang masih tinggal di gunung-gunung agar turun gunung dan disatukan dalam bentuk Kesatuan Tentara Arjuna. Sejak tahun 1950, KTA dijadikan Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat.

Sementara pada Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung pada tanggal 27 Desember 1949, pemerintah Belanda akhirnya mau mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan selanjutnya pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Setelah periode kemerdekaan, penataan sistem pemerintahan di Indonesia memunculkan lembaga legislatif seperti DPR untuk daerah Bali dan masing-masing swapraja di Bali. Demikian juga dipilih Kepala Daerahnya. Lembaga ini sebagai pengganti Paruman Agung dan Dewan Raja-Raja.

DIORAMA 32

PERTEMPURAN MARGA / PUPUTAN MARGARANA


Lokasi:

Uma Kaang, Tabanan

Kronologi :

20 November 1946

(video diorama 32)


Deskripsi Diorama : 

Pertempuran pasukan Ciung Wanara dibawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai melawan tentara Belanda di Uma Kaang dengan latar tanaman jagung yang menjadi tempat pertahanan pejuang.Pada pertempuran itu Letkol I Gusti Ngurah Rai gugur bersama pasukannya (PUPUTAN).


Pada tanggal 18 November 1946 malam, setelah melakukan penyergapan terhadap Tangsi NICA di Tabanan serta mendapatkan banyak rampasan senjata dan peluru, I Gusti Ngurah Rai yang didampingi beberapa pimpinan puncak TRI Resimen Sunda Kecil bergerak ke arah Banjar Ole dan Kelaci. Namun pasukan pejuang tersebut selalu diintai oleh Belanda. Tanggal 19 November 1946 penghubung pejuang sudah melaporkan kepada Ngurah Rai yang sedang berada di Kelaci bahwa tentara Belanda sedang menuju Marga.

Pada tanggal 20 November 1946, pagi-pagi benar pasukan Ciung Wanara yang telah mendapat tambahan personil menjadi sembilan puluh empat orang menyiapkan pertahanan disela-sela tanaman jagung persawahan Uma Kaang. Sementara serdadu Belanda menginterogasi dan menyiksa rakyat untuk mencari tahu keberadaan Ngurah Rai. Belanda mengerahkan pasukannya dan terus mengadakan penggerebekan ke rumah-rumah penduduk serta menggiring penduduk untuk berkumpul di depan pasar Marga.

Pada pukul 09.00 pagi terdengar letusan pistol dari Ngurah Rai sebagai tanda penyerangan terhadap serdadu Belanda yang telah masuk pada sasaran tembak. Terjadilah baku tembak yang seru.Banyak serdadu Belanda menjadi korban sehingga membangkitkan kegembiraan pasukan republik dan keluar dari posisi pertahanannya untuk mengejar musuh.

Tiba-tiba pada tengah hari NICA melakukan serangan dari udara dengan pesawat  intai Pipercub. Dengan kedudukan pertahanan yang telah terbuka maka pasukan Ciung Wanara dibombardir oleh serangan darat dan udara, sehingga Belanda berhasil menghancurkan kekuatan Ngurah Rai

DIORAMA 31

PERTEMPURAN TANAH ARON


Lokasi:

Tanah Aron, Karangasem

Kronologi:

 7 Juli 1946

Deskripsi Diorama:

Di Tanah Aron yang terletak di lereng Gunung Agung Karangasem terjadi pertempuran hebat antara Pasukan Ngurah Rai (Ciung Wanara) melawan pasukan NICA. Dalam pertempuran tersebut 82 serdadu NICA tewas, sedangkan di pihak Ngurah Rai semuanya selamat.


Sebagai suatu bagian dari strategi perang gerilya, maka induk pasukan DPRI memutuskan melakukan Long March dari Munduk Malang menuju Gunung Agung. Pasukan induk dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Rai tiba di Tanah Aron pada tanggal 5 Juli 1946. Dua hari berada di Tanah Aron, ada laporan bahwa serdadu NICA sudah mulai menempatkan pasukannya di Desa Pidpid, Ababi, Abang, Culik, di mana desa-desa tersebut merupakan pangkalan menuju Tanah Aron.

Mendengar laporan tersebut, I Gusti Ngurah Rai segera berunding dengan pasukannya menyiapkan posisi pertahanan. Pada tanggal 7 Juli 1946 sekitar jam 07.00 pagi pasukan Ngurah Rai telah siap pada posisi yang telah ditentukan. Setengah jam kemudian dari arah barat datanglah rombongan pasukan Belanda dengan kekuatan dua ratus orang.

Pada pukul 09.00 pagi mulai terdengar tembakan dari arah bukit Pawon dipimpin oleh Kapten Markadi. Tak lama berselang dari arah utara terdengar tembakan dari pasukan Tabanan dipimpin Kapten Wijana. Pasukan Belanda bergerak mundur dan turun pada posisi yang menguntungkan Republik. Dengan dibatasi oleh jurang dan jarak sekitar 250 meter, pasukan induk dengan jelas dapat melihat pasukan Belanda. Sebaliknya Belanda tidak menduga dihadapannya telah siap pasukan I Gusti Ngurah Rai dengan persenjataannya. Letnan Dhiasa memerintahkan penembakan dengan senjata 12,5 mm. Terjadilah kontak senjata hingga pukul 15.00 sore. Dalam pertempuran itu delapan puluh dua tentara NICA tewas, sedangkan tak ada korban pada pihak Ngurah Rai. Setelah mengadakan konsolidasi, pasukan Ngurah Rai bergerak menuju Buleleng.

DIORAMA 30

PEMBENTUKAN DEWAN PERJUANGAN RAKYAT INDONESIA SUNDAKECIL (DPRI SK)


Lokasi:    

Desa Munduk Malang, Tabanan

Kronologi: 

Tahun 1946

(video diorama 30)

Deskripsi Diorama:

Pada tanggal 16 April 1946 di rumah I Dewa Nyoman Jehem di Munduk Malang, Tabanan diadakan rapat untuk pembentukan Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK) di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai.


Setelah ekspedisi di Jawa, I Gusti Ngurah Rai kembali ke Bali. Sejak tanggal 6 April 1946 induk pasukannya bermarkas di Desa Munduk Malang, Selemadeg Tabanan. Sesuai dengan perintah dari Markas Besar Tentara, maka pada tanggal 6 April 1946 diadakan rapat di Munduk Malang yang dihadiri oleh wakil-wakil dari PRI, TRI, PESINDO yaitu: I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Putu Wisnu, Ida Bagus Mahadewa, I Nyoman Mantik, I Made Widja Kusuma, Ida Bagus Lipur, Cokorda Ngurah, I Gusti Ngurah Bonjoran Bayupati, Subroto Aryo Mataram, I Gusti Wayan Debes.

Dalam pertemuan ini disepakati untuk membentuk Markas Besar Umum Dewan Perjuangan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (MBU DPRI SK) dibawah pimpinan I Gusti Ngurah Rai. Sedangkan untuk tiap-tiap daerah kabupaten di Bali dibentuk Markas Besar (MB), di kecamatan Markas Cabang, di desa dibentuk Markas Anak Cabang, dan di tingkat banjar dibentuk Markas Anak Ranting

DIORAMA 29

SERANGAN UMUM TERHADAP TANGSI NICA DI DENPASAR


Lokasi:

Tangsi NICA, Denpasar

Kronologi:

Tahun 1946

(video diorama 29)


Deskripsi Diorama:

Penyerbuan terhadap tangsi NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang berada di Tangsi Kayumas Kota Denpasar oleh para pemuda pejuang. Salah seorang pemuda yakni Ida Bagus Japa gugur dalam peristiwa tersebut.


Pada tanggal 18 April 1946 di Pagutan, Kuta diadakan rapat untuk merencanakan serangan terhadap tangsi NICA di Kayumas, Kereneng dan Satria. Penyerangan secara umum dipimpin oleh Mayor Sugianyar dan dilaksanakan pada malam hari bulan mati. Tangsi kayumas diserbu oleh pasukan yang dipimpin Ida Bagus Japa dari jurusan timur dan utara. Dengan semangat dan keberanian yang berkobar-kobar, Ida Bagus Japa memerintahkan pasukannya menyerbu dan mengadakan tembakan ke Tangsi NICA. Tetapi naas Beliau sendiri gugur, sehingga pimpinan diambil alih oleh Gusti Ngurah Kusumayudha.

Ketika subuh beranjak pagi, ternyata perlawanan Belanda tidak mengendur, akibatnya pasukan Kusumayudha mundur kearah timur menuju Tegeh Kori dan Penatih untuk menyusun kekuatan, sedangkan Gusti Bagus Sugianyar mundur kearah barat memasuki daerah Tabanan.

DIORAMA 28

PERTEMPURAN LAUT DI SELAT BALI


Lokasi:

Selat Bali

Kronologi:

5 Maret 1946

(video diorama 28)


Deskripsi Diorama :

Pada tanggal 4 Maret 1946 pukul 20.00 malam, rombongan ALRI dipimpin Kapten Markadi yang bertugas membantu perjuangan di provinsi Sunda Kecil berangkat  dari pelabuhan Banyuwangi, Jawa Timur dengan 16 perahu dan 160 pasukan.


Pada tanggal 4 Maret 1946 pukul 20.00 malam, rombongan ALRI dipimpin Kapten Markadi yang bertugas membantu perjuangan di provinsi Sunda Kecil berangkat  dari pelabuhan Banyuwangi, Jawa Timur dengan 16 perahu dan 160 pasukan.

Setelah ditarik motor boat, perahu dilepas di tengah laut mengikuti arus dan arah angin dengan harapan mencapai pantai Cupel dan Candi Kusuma, Bali. Karena diguyur hujan lebat, sebuah perahu terpisah dari iring-iringan. Esok paginya, tiba-tiba dari arah Cupel, dua buah motor boat Belanda bergerak cepat menuju iring-iringan perahu Kapten Markadi. Perahu Markadi mempercepat gerakannya ke pantai tapi kalah cepat dengan kapal motor tentara Belanda. Menyadari keadaan terjepit sebanyak 30 orang anak buah Kapten Markadi menyembunyikan sejata supaya Belanda tidak menduga bahwa mereka tentara.

Perahu Markadi terkejar dan diminta mengulurkan tali dengan maksud menariknya guna mengetahui identitas penumpangnya. Atas anjuran Sumeh Darsono, Markadi mau memberikan tali kepada Belanda. Akan tetapi begitu tali dipegang pihak Belanda, tali ditarik kembali oleh Markadi pelan-pelan. Menyadari bahwa identitas awak perahu diketahui oleh Belanda, Markadi melepas talinya dan memberikan komando kepada anak buahnya untuk menembak Belanda. Terjadilah pertempuran laut antara pasukan ALRI dengan Belanda di Selat Bali. Sebuah kapal Belanda dapat diledakkan dan tengelam dan sebuah lagi kembali ke pangkalannya. Pertempuran yang berlangsung lima belas menit ini memakan korban pihak ALRI Sumeh Darsono dan Sawa Lilaha. Sedangkan pada pihak Belanda, sopir kapal motornya mati dan tenggelam.

DIORAMA 27

PERISTIWA BENDERA DI PELABUHAN BULELENG


Lokasi:

Pelabuhan Buleleng

Kronologi: 

27 OKTOBER 1945

(video diorama 27)


Deskripsi Diorama:

Penyerbuan terhadap tangsi NICA (Netherland Indies Civil Administration) yang berada di Tangsi Kayumas Kota Denpasar oleh para pemuda pejuang. Salah seorang pemuda yakni Ida Bagus Japa gugur dalam peristiwa tersebut.


Insiden ini bermula dari kedatangan kapal berbendera Belanda “Abraham Grijn” yang berlabuh di pelabuhan Buleleng. Kedatangan kapal Belanda membuat gusar hati para pemuda, terlebih-lebih karena para serdadu Belanda juga turun kedarat merampok logistik di gudang pelabuhan dan menggantikan pengibaran Merah Putih di kantor bea cukai dengan bendera Belanda.

Tidak ada tanda-tanda perlawanan dari penduduk Buleleng membuat serdadu Belanda bertindak seenaknya di darat. Menyadari kekurangan persenjataan yang dimiliki, pimpinan BKR Buleleng I Made Putu menyiapkan perang gerilya. Pada hari ketiga tanggal 27 Oktober 1945 dengan bantuan dari pemuda Tabanan dan Badung, Anang Ramli diperintahkan oleh Made Putu menurunkan bendera Belanda dan menggantikan dengan bendera Merah Putih. Mengetahui hal tersebut tentara Belanda dari kapal Abraham Griijn menembaki pemuda di darat. Dalam insiden ini pemuda I Ketut Merta dari Banjar Liligundi gugur terkena tembakan Belanda.

DIORAMA 26

PUSAT KOMANDO PEMUDA REPUBLIK INDONESIA (PRI)


Lokasi:   

Gedung Pusat Komando PRI, Denpasar

Kronologi:

SEPTEMBER 1945

(video diorama 26)


Deskripsi Diorama:

Gedung Pusat Komando PRI (Pemuda Republik Indonesia) di kota Denpasar, dengan ruang jaga di samping kanan dan kibaran Sang Merah Putih. Gedung itu sekarang adalah kodim 1611 Badung. Di latar depan pada alun-alun kota terlihat beberapa pemuda bersemangat saling memekikkan salam“Merdeka” dan ada pula mengibarkan bendera Merah Putih di alun-alun lapangan Puputan Badung, Denpasar.

Setelah rakyat Bali mengetahui dengan pasti adanya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan Soekarno-Hatta di Jakarta, maka dibentuklah badan-badan perjuangan yang dimotori pemuda pelajar seperti ISSM (Ikatan Siswa Sekolah Menengah), Angkatan Muda Indonesia (AMI) di Denpasar dan Singaraja, dan Pemuda Republik Indonesia (PRI) dengan tokoh-tokohnya, yaitu I Gusti Ngurah Sindhu, Cokorde Sudarsana, I Gede Puger, I Made Widjakusuma, Cokorde Agung, Ida Bagus Tantra, Nyoman Mantik, dan lain-lain.

 Semua badan perjuangan di Kota Denpasar bermarkas di gedung sebelah selatan alun-alun Puputan Badung dan diberi nama Pusat Komando PRI (Pemuda Republik Indonesia). Dari gedung ini semua kegiatan perjuangan dikendalikan untuk menghadapi segala kemungkinan, khususnya kedatangan Belanda yang membonceng tentara Sekutu.

DIORAMA 25

MENYEBARLUASKAN BERITA PROKLAMASI


Lokasi :

Singaraja


Kronologi:

Tahun 1945

(video diorama 25)


Deskripsi Diorama:

Mr. I Gusti Ketut Pudja, yang mendapat mandat sebagai Gubernur Provinsi Sunda Kecil, menerima penyerahan mandat dari Manseibu (penguasa Jepang) di kota Singaraja. Pada saat itu juga dilakukan pengibaran Bendera Merah Putih menggantikan Bendera Hinomaru.


Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta di Jakarta tidak segera diketahui oleh seluruh rakyat Bali. Pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Pudja datang dari Jakarta melalui jalan darat, dengan mandatnya sebagai Gubernur Sunda Kecil, beliau secara resmi menyampaikan berita kemerdekaan ini.

Setelah persinggahannya semalam di kota Negara, pada tanggal 24 Agustus 1945 diadakan upacara pengibaran bendera Merah Putih. Sementara itu para pemuda di Bali menyambut berita kemerdekaan dengan membentuk organisasi-organisasi pemuda seperti: AMI (Angkatan Muda Indonesia), PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan PERSINDO (Persatuan Indonesia) yang kemudian menyebarluaskan berita proklamasi ke seluruh pelosok desa di Bali.

Mereka menyebarkan bendera Merah Putih kecil sebagai bendera negara untuk ditempelkan pada tembok bangunan, menurunkan bendera Jepang dan menggantikannya dengan bendera Merah Putih pada kantor-kantor kerajaan. Selain itu penyebaran berita Proklamasi juga dilakukan melalui rapat-rapat umum yang diselenggarakan oleh pemuda, sehingga pada bulan September 1945 berita proklamasi telah menyebar merata di kalangan rakyat Bali.

DIORAMA 24

BALI DI BAWAH FASISME JEPANG


Lokasi 

Kamp Romusha, di Pulau Bali

Kronologi:

Tahun 1942 – 1945

(video diorama 24)


Deskripsi Diorama :

Rakyat Bali Melakukan kerja paksa (rodi) di bawah siksaan tentara jepang, antara lain pembuatan jalan, membuat perlindungan dan mengangkut barang-barang untuk kebutuhan perang dengan sekutu di Samudera Pasifik(Perang Dunia II).


Pada tanggal 19 Februari 1942, bala tentara Jepang melakukan pendaratan di Pantai Sanur, setelah melewati pertempuran laut dan udara dengan pasukan Sekutu di selatan Pulau Bali. Masuknya pasukan Jepang ke Bali pada tahun 1942 untuk mengusir penjajah Belanda, membawa derita baru bagi rakyat Bali. Untuk kepentingan pemerintah militer Jepang menghadapi sekutu, hampir semua penduduk diwajibkan menanam kapas dan jarak untuk mendukung logistik perang.

Selain itu ada juga pengerahan tenaga yang dipekerjakan di pabrik Mitsui Bisan Kaisha (membeli padi dan beras), perusahaan Mitsui Morin (mengolah kapas), Perusahaan Goshio (membuat karung goni), perusahaan Chikusa (mengolah pengawetan daging dan penyamakan kulit), dan sebagainya.

Pada sisi lain, dalam hubungan sosial ekonomi, peranan Fujinkai atau organisasi wanita pada masa pendudukan Jepang yang bergerak di bidang pertenunan cukup penting karena menimbulkan kecintaan pada produk sendiri.

Sedangkan untuk mendukung perjuangan Asia Timur Raya di bawah pimpinan Jepang melawan Sekutu, para pemuda diajak bergabung dalam Pembela Tanah Air (PETA) untuk diberi latihan kemiliteran. Di Bali pelatihan di pusatkan di Tangsi Banyumala, Buleleng. Pelatihan ini dimulai tanggal 15 Maret 1944 dengan merekrut 210 pemuda yang telah diseleksi.

DIORAMA 23

BANGKITNYA ORGANISASI PEMUDA


Lokasi:

Buleleng

Kronologi:

Tahun 1923-1928

(video diorama 23)


Deskripsi Diorama :

I Gusti Putu Djelantik memimpin rakyat di salah satu ruang sekolah di Buleleng yang dihadiri para pemimpin pemuda dari kalangan guru, pegawai, dan tokoh masyarakat Bali.


Dengan didirikannya sekolah-sekolah di Bali sebagai tuntutan politik etis Belanda, masyarakat mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Dari kesadaran tersebut beberapa golongan pelajar berinisiatif mendirikan berbagai organisasi sosial yang bertujuan memajukan masyarakat Bali dalam bidang pendidikan.

Pada tahun 1917 di Singaraja berdiri perkumpulan Suita Gama Tirta yang dipimpin oleh I Gusti Putu Djelantik dengan tujuan memajukan masyarakat dalam bidang agama serta mengubah adat istiadat yang bertentangan dengan kehendak zaman.

Pada tahun 1923 berdiri perkumpulan Shanti yang bertujuan mengadakan kursus-kursus agama dan berhasil mendirikan Sekolah Perempuan Shanti. Pendirinya antara lain: Wayan Ruma, Ketut Nasa, Made kaler, Nyoman Kajeng, I Gusti Putu Djelantik dan I Gusti Bagus Cakra Tenaya.

Perhimpunan Satya Samudaya Bahu Danda Bali Lombok (SSBBL) berdiri pada tanggal 1 Januari 1925 yang bertujuan mengumpulkan dana untuk membantu pendidikan. Perkumpulan ini lahir di Karangasem atas inisiatif raja Karangasem dan beberapa pemuka masyarakat.

Pada tanggal 1 November 1925 berdiri perkumpulan Surya Kanta di Singaraja dipimpin oleh Ketut Nesa, Ketut Sandi, Nengah Metra, Ketut Kaler, Ketut Mudasara dan Wayan Ruma,  tujuannya memajukan masyarakat dalam bidang pengetahuan sesuai dengan tuntutan zaman.

Perkumpulan Catur Wangsa Derya Gama Hindu Bali (Cwadega Hindu Bali) berdiri pada tanggal 2 Juni 1926 yang bertujuan memulihkan persatuan diantara keempat kasta di Bali sesuai dengan dharmanya masing-masing.

DIORAMA 22

PUPUTAN KLUNGKUNG


Lokasi:

Puri Semarapura, Klungkung

Kronologi:

Tahun 1908

(video diorama 22)


Deskripsi Diorama:

Raja Klungkung dengan segenap keluarga dan laskarnya berperang melawan serdadu Belanda di depan Puri Semarapura, Klungkung. Terlihat bangunan Kerthagosa pada latar belakang dengan asap tebal, pertanda sedang terjadi peperangan yang dahsyat.


Puputan Klungkung diawali oleh peristiwa Perang Gelgel yang meletus pada tanggal 18 April 1908. Pihak Gelgel mengalami kekalahan dengan korban anatara lain Cokorde Made Gelgel, Cokorde Pegig, dan Ida Bagus Jumpung. Melalui Residen Liefrinck, pemerintah Belanda pernah mengajak Raja Klungkung untuk membuat persetujuan, namun ditolaknya. Penolakan ini menyebabkan pada tanggal 21 April 1908 Belanda mengerahkan angkatan lautnya dari pantai Jumpai.

Keesokan harinya, serdadu Belanda yang mendarat di Kusamba dipimpin Overste Scuroth menyerang dari arah timur, pasukan Kolonel Carpentier Alting menyerang dari barat, dan pasukan yang dipimpin Mayor H. Misoter menyerang dari arah selatan. Perang berkobar dengan sengitnya. Serbuan Belanda dari arah barat di hadapi oleh Laskar Banjarangkan yang dipimpin Cokorde Gede Oka. Raja Klungkung I Dewa Agung Jambe beserta keluarga dan pimpinan masyarakat lainnya bertekad melawan Belanda habis-habisan.

Laskar Klungkung dipimpin saudara raja, Dewa Agung Semara Bawa dan putra mahkota Dewa Agung Gede Agung bersama Ibunda Dewa Agung Muter menyongsong pasukan Belanda di depan Puri hingga semua gugur.

DIORAMA 21

PERSIAPAN SAGUNG WAH MELAWAN BELANDA


Lokasi:

Desa Wongaya Gede, Tabanan

Kronologi:

Tahun 1906

(video diorama 21)


Deskripsi Diorama:

Sagung Wah sedang membakar semangat dan memberi perintah kepada laskar Tabanan untuk menghadapi serangan tentara Belanda. Di latar beakang tampak Pura Luhur Batukaru, hutan, semak belukar dan Gunung Batukaru.


Setelah jatuhnya Kerajaan Badung ke tangan Belanda pada tanggal 20 September 1906, Belanda melanjutkan serangan ke Tabanan. Guna menghindari korban yang lebih banyak, Raja Tabanan beserta pengikutnya memilih menyerah dan sebagian diasingkan ke Lombok. Namun salah seorang saudara perempuan raja yang bernama Sagung Wah melarikan diri ke Desa Wongaya Gede di kaki Gunung Batukaru.

Di desa ini beliau membangkitkan semangat rakyat dan para Kubayan, menyusun kekuatan untuk menghadapi Belanda di Puri Tabanan. Dengan keyakinan dan semangat yang berkobar-kobar, pada tanggal 28 November 1906, Sagung Wah memimpin rakyat Jatiluwih, Bongli, Tegayang, Sangketan, Tegallinggah, Rejasa, dan Cangkup bergerak menyerang kedudukan Belanda di Tabanan.

Dari Penatahan pasukan bergerak ke timur melalui Desa Sigaran, Jegu, Benana dan Buruan, sampai di Wanasari pasukan diistirahatkan. Sampai di Tuakilang pasukan disiapkan, Sagung Wah memimpin pasukan paling depan dengan berpakaian serba putih sambil memegang keris pusaka Ki Gedebong Belus dan Ki Tinjak Lesung. Ia didampingi oleh kepala pasukan Pan Renteh, Pan Tembah, dan I Gede Pered. Disusul pasukan terpilih dipimpin Pan Geria, Pan Kandar (Mekel Mangku) sebanyak 45 orang, kemudian di belakangnya menyusul laskar rakyat. Kedua pihak yang bermusuhan ini bertemu di sebelah utara Desa Pasekan. Belanda yang memiliki keunggulan persenjataan dan serdadu terlatih ditambah mata-mata dimana-mana berhasil mengetahui dan memporakporandakan laskar Sagung Wah dan menangkapnya dan kemudian dibuang ke Pulau Lombok.

DIORAMA 20

PUPUTAN BADUNG


Lokasi:

Puri Denpasar

Kronologi: 

20 September 1906

(video diorama 20)


Deskripsi diorama:

Raja Badung (ditandu) bersama keluarga dan para pengabdinya berpakaian serba putih melakukan perlawanan sampai akhir yang disebut juga dengan istilah “Puputan” dalam menghadapi serangan Belanda ke pusat Kerajaan Badung


Pada tanggal 27 Mei 1904, kapal dagang Srikomala terdampar di Pantai Sanur. Menurut Pemerintah Belanda, kapal tersebut membawa banyak barang yang berharga dan dinyatakan hilang karena dicuri dan dirampok oleh penduduk di sekitar pantai Padang Galak, Sanur. Padahal rakyat Sanur merasa telah memberi pertolongan dan menyerahkan muatan dengan rapi kepada syahbandar. Beberapa bulan berselang, datang Controleur Liefrink dari Batavia meminta tebusan atas barang-barang yang dinyatakan hilang atau dirampok. Dengan alasan ini terjadilah penyerangan terhadap Kerajaan Badung.

Pada tanggal 20 September 1906, pagi-pagi buta Kota Denpasar dihujani tembakan meriam Belanda dari pantai Sanur. Sekitar pukul 07.00 pagi pasukan Belanda telah memasuki pusat kota, lengkap dengan peralatan perangnya. Tentara Belanda yang telah menguasai Kesiman dan Kayumas bergabung menjadi satu di Taensiat, mengatur siasat penyerbuan terhadap Puri Denpasar.

Raja Badung telah bertekad beserta seluruh keluarganya, abdi, laki-perempuan, tua-muda, beserta para prajuritnya untuk melakukan perlawanan sampai mati, menyongsong pasukan Belanda dengan pakaian serba putih bersenjatakan keris dan tombak. Maka terjadilah peperangan sengit, saling tusuk, saling tikam. Dengan bersenjatakan keris dan tombak serta pakaian serba putih, Laskar Badung menyerbu dan menerjang pasukan Belanda. Korban pun bergelimpangan, darah mengalir, membeku, senjata perang berserakan termasuk jasad Raja Badung.

DIORAMA 19

PERLAWANAN RAKYAT BANJAR


Lokasi:

Areal persawahan Desa Banjar, Buleleng

Kronologi:

Tahun 1868 Masehi

Deskripsi Diorama:

Suasana pertempuran rakyat Banjar melawan Belanda di desa Banjar dengan latar belakang rumah-rumah penduduk yang telah dibakar oleh Belanda dan lahan persawahan yang subur.


Setelah mengakhiri Perang Jagaraga pada 18 April 1849, maka mulailah kekuasaan Belanda atas wilayah Kerajaan Buleleng. Dengan kekuasaannya tersebut, Belanda mengangkat pejabat mulai dari raja hingga tingkat kepala desa untuk distrik. Di beberapa tempat rakyat Bali mencoba melakukan tindakan perlawanan. Diantaranya dilakukan oleh Raja Jembrana I Gusti Putu Ngurah (1856), I Nyoman Gempol seorang punggawa kota Singaraja (1858), I Gusti Ngurah Rai dan Anak Agung Nyoman Karangasem dari Kerajaan Buleleng (1859). Perlawanan tersebut belum sempat menjadi besar karena Belanda dengan cepat telah mengetahui sikap dan gerak - gerik mereka. Dengan alasan mengganggu keamanan dan ketentraman, Belanda menangkap dan mengasingkan mereka ke Pulau Sumatra.

Di wilayah Banjar dan sekitarnya, perlawanan dipimpin oleh Ida Made Rai yang menjadi Kepala Distrik sejak tahun 1854 dibantu Ida Nyoman Ngurah, Ida Made Tamu, I Made Guliang, I Kamasan, Ni Blegung, dan lain-lain. Oleh karena kekuatan tempur Belanda di Kerajaan Buleleng tidak cukup kuat, maka pada tanggal 16 September 1868 didatangkan pasukan tambahan dari Banyuwangi menggunakan kapal Bromo Agung, Cycloop, Amsterdam, dan sebuah kapal dagang yang berlabuh di pantai Temukus. Dua kali Belanda melakukan penyerangan.

Pertama di bawah Mayor Van Hemskerck mengalami kegagalan dan kehancuran karena terperangkap oleh sistem pertahanan parit ranjau yang dibangun pihak Banjar, dan prajurit Belanda kurang menguasai medan.

Penyerangan kedua pada tanggal 24 Oktober 1868 dipimpin oleh Kolonel D.J. deBrabant dengan 700 pasukan. Satu persatu desa di sekitar Banjar jatuh ketangan Belanda.

Pada tanggal 27 November 1868 Perang Banjar berakhir. Rakyat Banjar disiksa secara kejam, mula-mula sisa pasukan wanita Ni Blegung ditangkap, kemudian Ida Made Rai dan pengikutnya di Desa Den Kayu. Pada tanggal 2 Maret 1869, I Made Guliang tewas di Desa Wongaya dalam pelariannya ke arah Mengwi dan Tabanan.

DIORAMA 18

PERANG KUSAMBA


Lokasi:

Pesisir Pantai Kusamba, Klungkung

Kronologi:

Tahun 1849 M

(video diorama 18)


Deskripsi Diorama:

Laskar Kusamba dipimpin oleh I Dewa Agung Kusamba menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda di dekat pesisir Pantai Kusamba. Tampak Jenderal Michiels yang memimpin pasukan Belanda mengalami luka parah dan digotong oleh prajuritnya kembali ke kapal. 


Setelah takluknya Buleleng, Kerajaan Klungkung telah memperkirakan akan menjadi sasaran Belanda selanjutnya, karena tidak mengindahkan perjanjian yang dibuat dengan Pemerintah Belanda. Kerajaan Klungkung pada saat itu diperintah oleh I Dewa Agung Putra Kusamba yang menggantikan ayahandanya karena sudah tua. Istananya berkedudukan di Puri Kusamba, sementara Semarapura dikendalikan oleh Dewa Agung Istri Kanya.

Klungkung sudah lama mempersiapkan diri dengan membina basis-basis pertahanan sebagai pelindung ibu kotanya, yaitu daerah Kusamba dan Satria di sebelah timur, Gelgel di sebelah selatan dan Banjarangkan di sebelah barat.

Tanggal 18 Mei 1849, armada Belanda di bawah pimpinan Jenderal Michiels mendarat di Teluk Padang (Padangbai) dan membangun basis kekuatan untuk menyerang Klungkung. Sasaran pertama adalah Puri Kusamba di mana berdiam Raja Muda Klungkung.

Pagi-pagi tanggal 24 Mei 1849 Kusamba diserang dari arah timur. Laskar Kusamba sebanyak 2.000 orang yang ditempatkan di Goa Lawah dengan garis pertahanan sepanjang Bukit Wates melakukan perlawanan selama 5 jam. Goa Lawah direbut, selanjutnya Belanda terus maju Belanda menyerang Puri Kusamba. 790 prajurit Belanda dengan persenjataan lengkap dan modern berhadapan dengan 3.000 laskar Kusamba yang dipimpin oleh Raja I Dewa Agung Putra Kusamba dan Anak Agung Made Sangging.

Belanda menyerang dari tiga jurusan: dari arah timur dipimpin Jenderal Michiels, dari utara dipimpin Van Swieten dan dari pantai dipimpin oleh Baulicius dengan pasukan marinirnya. Pertempuran berlangsung sampai pukul 15.00 sore, kemudian laskar Kusamba mundur sampai melakukan politik bumi hangus.

Keesokan harinya, pagi-pagi buta pasukan istimewa Kusamba melakukan serangan mendadak dipimpin Anak Agung Made Sangging dengan misi membunuh Jenderal Michiels. Dalam situasi kacau balau oleh serangan dadakan, ternyata Jenderal Michiels rebah, paha kirinya remuk terkena peluru, setelah diamputasi akhirnya Jendral Michiels meninggal dan serangan atas Kerajaan Klungkung dibatalkan.

DIORAMA 17

PERANG JAGARAGA


Lokasi:

Benteng Jagaraga, Buleleng

Kronologi:

1849

(video diorama 17)


Deskripsi Diorama:

Laskar Kusamba dipimpin oleh I Dewa Agung Kusamba menyerang kubu-kubu pertahanan Belanda di dekat pesisir Pantai Kusamba. Tampak Jenderal Michiels yang memimpin pasukan Belanda mengalami luka parah dan digotong oleh prajuritnya kembali ke kapal. 


Setelah mempertimbangkan berbagai hal berkaitan dengan tuntutan Pemerintah Belanda terhadap Kerajaan Buleleng, maka sebagai siasat Raja Buleleng I Gusti Made Karangasem pada tanggal 9 Juli 1846 mau menandatangani pernyataan takluk terhadap Belanda. Dengan adanya pernyataan ini maka Belanda tidak lagi memberikan perhatian yang seksama terhadap kegiatan di Buleleng.

Namun diam-diam Beliau dan Patih Djelantik telah menyusun kekuatan baru di Desa Jagaraga dengan membuat strategi Supit Urang atau capit udang. Sayangnya persiapan perang ini tercium oleh pihak Belanda yang berpangkalan di kota Singaraja, maka pada tanggal 7 Maret 1848, Belanda mendatangkan pasukan dari Batavia untuk menggempur Benteng Jagaraga melalui Pantai Sangsit dibawah pimpinan Mayor General Van Der Wijck dan Overste Van Swieten. Serangan ini merupakan kesalahan sehingga banyak pasukan Belanda yang tewas dalam perang pertama ini karena belum mengetahui siasat perang laskar Buleleng. 

Ekspedisi Belanda yang kedua dilakukan pada tanggal 15 April 1849 di bawah pimpinan Jenderal Mayor Michiels dan Letkol de Brau. Pasukan Belanda kembali mendarat di Sangsit dan langsung mengadakan serangan dari dua arah, yaitu dari depan dan dari belakang arah perbentangan supit urang.

Akhirnya Belanda berhasil mengurung Benteng Jagaraga dan dengan demikian laskar Buleleng terjepit. Walaupun dengan segala keberaniannya rakyat Buleleng berperang melawan Belanda, akan tetapi karena pasukan Belanda memiliki persenjataan yang serba modern, akhirnya patih Djelantik mundur ke arah timur menuju Karangasem dengan maksud untuk mencari bantuan, namun akhirnya terbunuh dalam perjalanan. Sementara istri patih Djelantik, Jero Jempiring dengan gigihnya tetap maju melakukan perlawanan hingga gugur dalam peperangan

DIORAMA 16

PATIH DJELANTIK MEROBEK SURAT GUBERNUR  JENDERAL BELANDA


Lokasi: 

Kerajaan Semarapura, pusat kerajaan Klungkung

Kronologi: 

1846

(video diorama 16)


Deskripsi Diorama

Patih Kerajaan Buleleng, I Gusti Ketut Djelantik merobek surat dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia dengan disaksikan oleh Raja Klungkung dan juga utusan Belanda. 


Pada tahun 1846 masehi, sebuah perahu dari Jawa terdampar di Pantai Sangsit, wilayah Kerajaan Buleleng. Menurut Hak Tawan Karang atau Klip Recht (suatu hak bagi raja untuk mengambil alih isi dari kapal yang terdampar di wilayahnya) yang mana pada saat itu efektif dilakukan, kemudian I Gusti Ketut Djelantik yang merupakan patih Kerajaan Buleleng menawan kapal dan mengambil alih isinya. Pemerintah Belanda yang menawarkan pembatalan hak tersebut segera memerintahkan kekuatan Angkatan Laut dari Batavia dan Surabaya untuk berlayar dan berkumpul di Besuki (pesisir timur Pulau Jawa). Pada saat yang bersamaan mereka juga mengutus seorang utusan untuk mengirimkan surat untuk Raja Klungkung yang meminta Raja untuk membatalkan hak tersebut.

Sementara itu Raja Buleleng mengirimkan patih beliau, I Gusti Ketut Djelantik, ke Semarapura, Klungkung, yang merupakan pusat seluruh kerajaan di Bali, dalam rangka melaporkan kejadian dan untuk menyampaikan pendiriannya untuk menolak permintaan Belanda untuk membatalkan  hak Raja Klungkung, I Dewa Agung Putra. Patih Djelantik dan utusan Belanda sampai pada saat yang bersamaan, dan dengan disaksikan oleh Raja Klungkung dan utusan Belanda, Patih Djelantik merobek Surat Gubernur Jenderal Belanda dengan menggunakan keris (senjata tradisional Bali).

DIORAMA 15

MASA KEJAYAAN KERAJAAN-KERAJAAN DI BALI


Lokasi:

Pada bangunan-bangunan peninggalan pada masa kejayaan kerajan-kerajaan di Bali.

Kronologi:

ABAD 17- 19 M

(video diorama 15)


Deskripsi Diorama:

Peninggalan masa kejayaan kerajaan di Bali antara lain: Kerthagosa di Klungkung, Taman Sukasada Ujung di Karangasem danpatung Singa Ambara Raja yang merupakan symbol kerajaan Buleleng di Singaraja. 


Pada saat kerajaan berpusat di Gelgel dengan istananya Swecapura, aktivitas kehidupan sosial terdorong lebih meningkat. Hal in disebabkan karena peran raja yang selalu memotivasi rakyatnya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Usaha ini menghasilkan kemajuan di bidang politik, ekonomi dan juga kebudayaan. Ini ditandai dengan stabilitas yang baik di bidang administrasi dan melimpahnya hasil panen pertanian yang membawa kemakmuran kepada rakyat, sedangkan perkembangan seni menghasilkan peningkatan kualitas kecerdasan manusia.

Kemajuan Kerajaan Gelgel telah membuat wilayah lain secara politik dan ekonomi berorientasi pada Gelgel, pusat dari kerajaan. Untuk mengakomodasi perubahan yang semakin kompleks, maka pusat kerajaan harus dipindahkan ke Kerajaan Semarapura di Klungkung. Ini dilakukan untuk membuat kerajaan lebih terbuka pada aktivitas dinamis dari masyarakat, di samping lokasi kerajaan sebelumnya dianggap tidak strategis lagi. Pemindahan kerajaan merupakan hal yang sangat penting, bukan hanya bagi kerajaan Klungkung, tetapi juga bagi mereka yang hidup di empat penjuru di Pulau Bali.

Kemajuan pesat dari kerajaan Klungkung telah menginspirasi munculnya beberapa pusat kekuatan di berbagai wilayah di Pulau Bali pada abad ke 17-19 Masehi dan menempatkan Kerajaan Klungkung sebagai asal muasalnya (sesuhunan). Kerajaan tersebut yaitu Kerajaan Buleleng yang dipimpin oleh I Gusti Panji Sakti, Kerajaan Karangasem dengan Raja Anak Agung Agung Anglurah Ketut Karangasem, Kerajaan Mengwi yang dipimpin oleh I Gusti Agung Ngurah. Demikian seluruh Bali pada periode abad 17-19 M mencapai masa kejayaan dengan hasil pembangunan fisik yang diwarisi hingga saat ini. Klungkung memiliki Taman Kerthagosa dan Taman Gili, Buleleng  memiliki Istana Singaraja (yang kemudian menjadi lambang Singa Ambara Raja), Karangasem memiliki Taman Sukasada Ujung, serta Mengwi yang memiliki Taman Ayun.

DIORAMA 14

DANG HYANG  NIRARTHA


Lokasi:

Pantai Nusa Dua

Kronologi:

1489 M

(video diorama 14)


Deskripsi Diorama:

Danghyang Nirartha sedang membaca hasil karyanya di pantai Nusa Dua sambil menikmati keindahan alam sekitarnya. Tampak bangunan candi, Padmasana dan Gunung Agung.


Kedatangan Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh atau Danghyang Dwijendra (Bali) atau Pangeran Sangupati (Sumbawa) atau Tuan Semeru (Lombok) panggilan Beliau, di tanah Bali merupakan bagian dari perjalanan tirta yatra Beliau dari Gunung Ijen, Jawa Timur menuju tempat-tempat suci di Pulau Bali maupun pulau Lombok.

Dengan keahliannya yang lengkap dari ilmu agama, peperangan, pemerintahan dan kesusastraan, beliau sangat berperan mendorong kemajuan peradaban rakyat di Bali.

Selain melakukan misi tirta yatra, Beliau juga menata kehidupan keagamaan dengan konsep Tri Purusa. Beliau juga berjasa mengembangkan bangunan Padmasana sebagai stana Ida Sang Hyang Siwa Raditya.

Dalam literatur, beliau menulis banyak karya sastra dan salah satu puisinya berjudul Nusa Dua:

Gua koral terlihat indah,

Tempat saya menulis terhampar dengan bunga pandan wangi,

Beberapa diantaranya menyembul keluar dari celah-celah bebatuan

Ombak melewati celah-celah batu

Menyebabkan hujan dengan pelangi

Hal yang berkesan di dalam hatiku adalah keindahan laut

Ini sangat jelas saat air pasang dan surut

DIORAMA 13

RAJA DALEM WATURENGGONG


Lokasi:

Kerajaan Semarapura, pusat kerajaan Klungkung

Kronologi:

1460 – 1550 M

(video diorama 13)


Deskripsi Diorama:

Raja Dalem Waturenggong terlihat sedang membaca lontar disebut mawirama , ditemani para pejabat dan Bhagawanta (penasehat) Dang Hyang Nirartha.


Dalem Waturenggong bertahta menggantikan ayahnya Dalem Ketut Ngulesir pada tahun 1460 masehi. Berkat kebijaksanaan pendahulunya, Dalem Waturenggong dapat menyelenggarakan pemerintahan dengan aman dan tentram. Keadaan ini memberi kesempatan berjalannya tradisi kesusastraan keraton Majapahit dan Kediri dalam kondisi yang dinamis. Namun demikian perhatian terhadap Kerajaan Bali Aga tidak menjadi surut.

Dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit pada tahun 1478, terbawalah beberapa kepustakaan Majapahit ke Bali. Demikian pula kedatangan Danghyang Nirartha pada tahun 1489 yang mengajarkan konsepsi keesaan Tuhan (Parama Wisesa), menata kehudupan masyarakat (sesana) dan membangkitkan kesusastraan. Diperkirakan pada saat inilah Bali mengalami puncak kejayaan, termasuk lahirnya karya-karya sastra dan kesenian yang bernilai tinggi.

 

DIORAMA 12

PEMBANGUNAN PURA DASAR GELGEL


Lokasi:

Istana Swecapura, pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel

Kronologi:

Abad ke-14 M

(video diorama 12)


Deskripsi Diorama:

Sejumlah Undagi (Arsitek Tradisional) terlihat membangun Pura Dasar Gelgel yang berlokasi di kerajaan Gelgel. 

 

Pada tahun 1380 Masehi Dalem Ketut Ngulesir, putra kedua dari Dalem Kresna Kepakisan, diangkat menggantikan kakaknya Dalem Samprangan yang dipandang tidak cakap dalam memimpin kerajaan. Pusat pemerintahan pun dipindah dari Samprangan ke Gelgel dengan istananya yang bernama Swecapura. Sebagai seorang Raja, beliau mempunyai pergaulan yang dekat dengan rakyat sehingga dapat bertindak arif dan bijaksana. Dalam menyikapi tatanan kehidupan dari Bali Aga dengan Majapahit, maka beliau mendatangkan pendeta dari Keling untuk mengajarkan kebenaran dan ilmu spiritual.

 Salah satu bentuk apresiasi Dalem Ketut Ngulesir terhadap rakyat Bali Aga, Beliau membuat patung dan menyenggarakan Upacara Srada bagi Raja Bali sebelumnya, yaitu Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten. Sedangkan dalam kehidupan masyarakat, beliau mengangkat para Pasek (pengikut Raja Sri Astasura Ratna Bumi Banten) untuk ikut serta dalam pemerintahan Desa Adat. Di samping itu, untuk mempersatukan semua lapisan masyarakat di Bali, Dalem Ketut Ngulesir memerintahkan untuk membangun Pura Dasar Gelgel.

DIORAMA 11

Penobatan Sri Kresna Kepakisan


Lokasi: 

Istana Samprangan, pusat pemerintahan kerajaan Bali Madya

Kronologi:

1343 AD

(video diorama 11)


Deskripsi Diorama:

Situasi penobatan Raja Sri Kresna  Kepakisan sebagai  Adipati Bali atas restu kerajaan Majapahit yang ditandai dengan penyerahan keris yang disebut Ki Durga Dungkul oleh Mahapatih Gajah Mada


Setelah berhasilnya ekspedisi Mahapatih Gajah Mada pada tahun 1343 Masehi, maka dinobatkanlah Sri Kresna Kepakisan, seorang keturunan brahmana dari Kerajaan Daha, Kediri, Jawa Timur sebagai penguasa Bali dan membentuk Dinasti Dalem. Istana Kerajaan saat itu berkedudukan di Samprangan, tempat pasukan Majapahit membangun kekuatan untuk menaklukan Bali.

Pada masa pemerintahannya masih terjadi permusuhan dan pemberontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa keturunan Raja Bedahulu dan para pengikutnya yang belum mau tunduk pada Majapahit. Dalam menghadapi beberapa pemberontakan, Patih Gajah Mada bahkan harus mendatangkan prajurit tambahan dari Jawa. Sementara dalam bidang pemerintahan untuk menciptakan tatanan kehidupan yang sesuai dengan sistem di Majapahit, didatangkan pula para Manggala atau aparat pemerintahan dari Majapahit sehingga menambah kewibawaan Sri Kresna Kepakisan.

DIORAMA 33

BALI DALAM MENGISI KEMERDEKAAN Lokasi: Beberapa hasil pembangunan di Bali Kronologi:   Tahun 1950-1975' (video diorama 33) Deskripsi D...