GUNAPRIYA DHARMAPATNI DAN SUAMINYA DHARMODAYANA WARMADEWA
Lokasi:
Balairung istana Kerajaan Bali kuno
Kronologi:
989-1001 M
Deskripsi Diorama:
Gunapriya Dharmapatni bersama
suaminya Dharmodayana Warmadewa sedang di
menemui para pembesar kerajaan di Balairung.
Mahendradatta
adalah putri Raja Makutawangsawardana dari kerajaan Galuh Jawa Timur.
Perkawinannya dengan Raja Udayana dari Wangsa Warmadewa di Bali melahirkan
Airlangga, Marakata Pangkaja, dan Anak Wungsu. Setelah dinobatkan menjadi Ratu
dari kerajaan Bali, Mahendradatta bergelar Gunapriya Dharmapatni, sedangkan
suaminya dikenal dengan Dharmodayana Warmadewa.
Pada masa
pemerintahan Ratu Gunapriya Dharmapatni, terdapat banyak kemajuan di bidang
arsitektur dan kesusastraan. Kebudayaan Jawa sangat berkembang pada periode
ini, yang mana kemudian memasyarakatkan bahasa Kawi pada rakyat Bali. Demi tujuan ini banyak karya sastra dibawa
ke Bali untuk meningkatkan pengetahuan tentang masyarakat lokal tentang
administrasi, literatur dan hukum.
Sejumlah naskah yang menggunakan bahasa Bali
kuno mengenai hukum ketatanegaraan, perpajakan, perkembangbiakan ternak
(khususnya kuda) diterjemahkan menjadi bahasa Jawa kuno (bahasa Kawi) yang mana
telah disesuaikan dengan aturan yang berlaku di Jawa Timur. Pemasyarakatan
peraturan baru tersebut dilakukan dengan perantara pertunjukan wayang. Kemajuan
yang lain adalah pengaturan kegiatan keagamaan dengan melantik penasehat
kerajaan yang berasal dari agama Siwa dan Buddha. Pada tahun 1007, setelah
melahirkan anak bungsunya, Anak Wungsu, Gunapriya Dharmapatni meninggal dunia.
Abunya disimpan di desa Buruan, kabupaten Gianyar. Kepemerintahannya
dilanjutkan oleh suaminya, Udayana, hingga beliau wafat pada tahun 1011.
Periode pemerintahan Udayana adalah masa keemasan dari dinasti Warmadewa di
Bali
Peristiwa
penting pada masa pemerintahan Sri Ratu Gunapriya Dharmapatni adalah kedatangan
seorang pendeta dari Jawa Timur bernama Empu Kuturan yang ikut menyumbangkan
gagasan beliau bagi kehidupan pemerintahan, agama, dan adat istiadat di Bali. Beliau
memperkenalkan konsep Kahyangan Tiga,
keberadaaan tiga pura utama di suatu desa yang ditujukan untuk memuja tiga
Dewa, yaitu: Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa, dalam rangka menyatukan berbagai
sekte pada waktu itu menjadi agama Siwa Sidanta, yang menempatkan Siwa sebagai
Tuhan. Konsep ini juga menjadi kekuatan dasar yang menyatukan adat (tradisi)
masyarakat di setiap desa di Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar